Sa ou maua le alofa

 

                                                       

Seorang gadis berlesung pipi termenung sembari menatap Surya yang sebentar lagi kembali ke peraduannya. Benaknya mengawang ke masa dimana ia selalu gagal untuk melupakannya. Ia menghela napas. Ia tak bermaksud meratapi hidupnya. Hanya saja terkadang ia terlalu rapuh untuk hal hal kecil yang seharusnya tak ia pikirkan. Ia masih mengingat dengan jelas, bagaimana orang orang banyak yang menganggapnya aneh.

     "Wayang? Kuno ah!"

     "Kamu itu aneh. Zaman udah canggih kok masih main sama wayang"

     "Zaman sekarang itu butuhnya orang yang melek teknologi, yang bisa mengimbangi teknologi, bukan orang yang suka bergaul sama wayang tapi buta teknologi"

    "Santri zama now itu bisa go internasional karena melek teknologi, pintar bahasa asing dan punya wawasan yang luas. Jadi, gak malu maluin bangsa sendiri depan negara lain. Ini kamu malah sibuk ngurusin wayang. Buat apa?"

Dan masih banyak hinaan lain yang sering ia dengar. Ia harus mendengarkan kalimat kalimat seperti itu setiap hari. Telinganya memang kebal. Namun hatinya tak bisa dibohongi. Ia terlalu rapuh untuk mendengarnya. Apa salahnya jika ia tak suka berjoget ria untuk di-posting di tiktok dan memilih menyukai wayang dan segala hal tentang wayang? Apa itu dilarang? Pasti tidak jawabannya. Namun, ia tak habis pikir dengan pola pikir teman temannya yang menganggap wayang itu aneh.

Terutama seorang santri yang sangat pintar bahasa asing bernama Vira. Ia pintar dan cantik. Tak ada yang tak menyukainya. Namun, karena kepopulerannya dia menmrasa lebih baik dari lainnya. Vira juga sering menghina Shila  tentang persolaan wayang. Shila merasa bahwa orang yang paling membencinya adalah Vira. Salah satu alasannya adalah wayang. Namun, yang tak Shila mengerti adalah mengapa Vira harus sebenci itu padanya. Tak mungkin hanya soal wayang saja. Ingin rasanya bertanya, namun selalu urung ia lakukan karena Shila merasa ia tak sepintar Vira untuk sekadar mendebat Vira. Hal itulah yang membuat Bhia harus turun tangan untuk membela Shila.

"Sila!", Panggil seseorang. Shila sontak menoleh. Ternyata itu Bhia. Sahabatnya yang sangat ia sayangi selama di pondok. Yang selalu mendukung apapun yang ia lakukan. Bhia menghampiri Shila.

"Udah mau Maghrib. Ayo turun. Nanti kita di ta'zir gara gara telat. Aku gak mau kayak kemarin lagi", ucap Bhia mengingatkan.

"Ayo!", Jawab Shila seraya lebih dulu meninggalkan Bhia. Bhia berdecak sebal. Shila selalu saja meninggalkannya lebih dulu. Kebiasaan buruk sahabatnya belum juga hilang.

Tepat ketika mereka sudah turun dari lantai paling atas, azan Maghrib berkumandang. Namun syahdunya masih belum sanggup mengusir rasa sedih Shila karena ucapan yang menyakitkan itu. Andai hatinya sekuat Dewi Srikandi, ia tak akan serapuh ini hanya karena hinaan dari teman temannya. Ia mencoba tegar, tapi pura pura kuat itu bukan keahliannya.

Selepas sholat Maghrib, jadwalnya untuk mengaji Qur'an. Tapi karena sang ustadzah datang terlambat, jadwanya diundur setengah jam. Bhia tersenyum senang seperti mendapat hadiah doorprize. Lalu tiba tiba menarik tangan Shila keluar dari mushola dan berjalan menuju Mading. Ada apa dengan Bhia. Tak biasanya seperti ini, pikir Shila. Shila bertanya namun diabaikan begitu saja oleh Bhia.

"Coba kamu baca dulu, Shila", perintah Bhia. Shila lamat lamat membaca informasi dari Mading tersebut. Sebuah lomba cerpen bertemakan cinta santri untuk negeri. Seketika Shila menngeryitkan dahi, tanda ia tak mengerti.

" Maksud kamu gimana? Aku gak paham", kata Shila. Bhia menghela napas kesal.

"Aduh Shila!! Ini tuh jawaban dari Allah biar kamu gak sedih lagi. Kamu lihat temanya cinta santri untuk negeri. Nah kamu bisa tunjukkin ke orang orang kalo suka sama wayang itu gak salah dan gak malu maluin negeri sendiri. Malah itu adalah bentuk cinta santri untuk negeri. Tunjukin keahlian kamu tentang wayang dalam lomba itu.", Dengan gemas Bhia menjelaskan. Sahabatnya yang satu ini memang kelewat polos, makanya sering di rendahin sama teman temannya. Karena itulah Bhia merasa ia harus melindungi sahabatnya ini.

Seketika Shila sumringah. Benar juga ide Bhia. Shila memutuskan untuk mengikuti lomba itu. Berharap ia tak dihina lagi oleh teman temannya. Sudah empat hari ini, mereka berdua sibuk dengan urusan lomba itu. Tak sedikit yang mencibir mereka. Namun Bhia selalu bisa meyakinkan Shila untuk tak pernah mendengarkan apa kata orang orang.

"Jadi, istrinya Kumbakarna itu cantik banget, ya? Kok bisa sih Dewi secantik itu mau jadi istrinya Kumbakarna? Kan Kumbakarna serem tuh wujudnya?", Tanya Bhia sehabis membaca kisah Kumbakarna, salah satu saudara dari Rahwana yang merupakan referensi cerita pendekku.

"Itu karena Kumbakarna sebenarnya baik hatinya. Dia gak pernah setuju dengan tindakan kakaknya  Rahwana menculik Dewi Shinta, meskipun begitu dia gak pernah benci dengan kakaknya. Dia juga punya jiwa nasionalisme. Kumbakarna gak rela negerinya dijajah. Meskipun pada akhirnya dia gugur dalam perang, tapi dia bangga karena gugurnya karena membela negara.", Jelas Shila panjabg lebar. Bhia mengangguk mengerti.

Dua hari lagi deadline lomba cerpen. Shila awalnya masih ragu apakah bisa menang atau tidak. Tapi Bhia lagi lagi berhasil meyakinkan sahabatnya bahwa menang atau tidak itu tidaklah penting. Yang penting adalah kita bisa memberitahu orang lain bahwa kita bisa mencintai negeri ini dengan menyukai budayanya. Tak perlu menjadi jenius untuk memamerkan pada negara lain, menyukai budayanya saja cukup. Itulah mengapa Shila sangat mengagumi sosok Bhia. Pola pikirnya yang terbuka, tidak seperti Shila yang selalu berpikir kolot.

Shila dan Bhia sedang sibuk mengedit dan merevisi cerita pendek yang baru selesai dibuat. Kamar mereka berada di lantai dua dan paling ujung. Jadi, udara segar bisa masuk lewat jendela mereka. Mereka berdua sibuk berceloteh dan berdiskusi ketika seorang santri cantik datang menghampiri mereka.

"Eh Shil, kamu yakin ngenalin wayang? Gak mau tentang teknologi? Kan kalo kamu mau bikin tentang teknologi, kamu bisa tanya aku.", Ujar Vira sembari memberikan wajah mengejek.

"Enggak usah Vir. Tapi makasih buat tawarannya", ujar Shila tersenyum sopan. Vira mendecak kesal. Padahal ia berharap Shila setuju dengan idenya.

"Tapi aku lebih yakin kalau kamu bisa menang dengan ide aku tadi atau gimana kalau...",

"Udah deh Vir! Kalo Shila gak mau ya nggak usah dipaksa!", Potong Bhia kesal.

"Dihh.. pede banget lu! Siapa juga yang maksa! Lagian gua kan ngomongnya Shila, kenapa situ yang nyolot?!", Jawab Vira sengit.

Shila menghela napas. Ia melerai pertengkaran sahabatnya yang berujung Vira keluar dengan kesal. "Tapi tawaran tadi masih berlaku lho, Shil. Kalau berubah pikiran, bilang sama gua aja", ucap Vira sesaat sebelum melangkah keluar dan kembali direcoki dengan omelan Bhia. Bhia selalu kesal ketika Shila tak pernah melawan para pembencinya. Bhia menyarankan sesekali mereka harus diberi pelajaran agar tak sembarangan dalam berucap. Namun, Shila hanya berkata"Aku sadar aku itu rapuh, tapi aku belajar dari Dewi Subadra untuk menjadi seorang yang pemaaf. Lagipula Nabi juga mengajarkan untuk gak menjadi pendendam, kan". Itulah mengapa Bhia pikir orang yang baik selalu banyak yang membenci.

Tiba saatnya pengumuman pemenang. Shila berhari hati menunggu hari dimana pemenang diumumkan. Meskipun Bhia berkali kali berkata tak perlu memikirkan soal menang atau tidak. Tapi, tak salah kan jika Shila berharap menang. Jantung Shila sudah tak karuan demi melihat nama yang diumumkan sebagai pemenang. Awalnya Shila ingin melihatnya di lantai tiga saja. Ditempat yang biasa digunakan Shila untuk menyendiri. Tetapi Bhia menolak. Shila tetap bersikukuh dengan idenya. Akhirnya Bhia menurut. Bhia yang melihat pertama kali pengumumannya.

"Gimana, Bhia? Aku menang, gak?", Tanya Shila penasaran sekaligus tegang.

"Hmmm.. Shil, kayaknya kamu disuruh Allah buat sabar lagi, deh", jawab Bhia sedih.

Shila menghela napas. Ia sudah belajar untuk ikhlas. Bhia memberikan Handphonenya untuk dilihat Shila.

"Sabar ya Shil, satu Minggu ini kamu bakalan sibuk banget buat jadi pembicara di seminar khusus pemenang lomba", ucap Bhia tiba tiba seraya tertawa kecil karena berhasil mengerjai sahabatnya sendiri. Bhia terkejut mendengarnya. Ah, sahabatnya memang pandai membuat kejutan. Dilihatnya nama nama pemenang yang ternyata ia meraih juara satu. Alhamdulillah, ternyata Allah menjawab harapan Shila. Kegembiraan mereka terhenti ketika melihat Vira yang datang menghampiri mereka. Jangan tanya lagi bagaimana raut wajah Bhia melihatnya. Sedangkan Shila langsung bertanya mengapa Vira datang.

"I'm so sorry for my fault to you Shila. Ya, kamu bener Shila. Gak seharusnya aku bersikap seperti itu ke kamu. Cara pandang aku yang salah. Pemikiran aku yang kolot malah bikin aku jadi arrogant. So, maafku diterima gak?", Ucap Vira menunduk.

"Gak usah maafin dia, Shil. Biarin aja. Lagian dia tu harus kena karmanya dulu. Apalagi selama ini dia udah..",

"Aku maafin kok", potong Shila. Bhia menoleh tak percaya. Bagaimana bisa dimaafkan? Vira perlahan mengangkat wajahnya.

"Gak salah dengar, kan?", Tanya Vira.

" Enggak kok. Beneran lagian, aku senang kalau kamu udah sadar kesalahan kamu. Aku gak suka yang namanya dendam. Jadi, it's okay Vir", jawab Shila dengan sedikit tambahan bahasa Inggris di akhir katanya. Vira tertawa mendengarnya. Begitu juga Bhia. Ya, Allah selalu punya rencana di setiap masalah yang ada. Allah menciptakan pola pikir yang berbeda untuk dipandang dengan indah seperti pelangi. Agar manusia bisa belajar sesuatu yang baru.

Langit sudah merah. Warnanya berpendar mengelilingi bumi. Keindahan matahari yang hanya tampak setengah itu membuat suasana semakin indah untuk mereka. Semoga pertemanan mereka semakin erat.

 

 

 

 

 

 

 

 


Komentar