Perihal Rasa

 

 


Aku terdiam. Aku sadar. Aku ini ikan. Tak pantas seekor ikan untuk menentang kodrat. Kodratku berada di air. Bukan darat. Namun, aku tak bisa membohongi hatiku bahwa aku menyukai darat. Aku menyukai segala sesuatu yang berkaitan dengan darat. Termasuk manusia.

Ya. Manusia.

Semua itu bermula dari enam bulan yang lalu. Saat senja masih belum kembali ke peraduannya. Disekitar rumahku banyak orang berlalu lalang. Bercengkerama menghabiskan waktu seolah olah dunia ini hanya milik mereka. Bertukar cerita tentang apa yang terjadi hari ini. Diselingi lelucon yang membuat cerita tampak menarik perhatian. Serta makanan yang selalu ada. Agar jika cerita sudah buntu, berakhir dengan menyantap makanan sembari berpikir topik apalagi yang harus dicelotehkan.

Aku melihat seorang lelaki yang tampak sendu. Dengan tas yang kelihatannya sangat mahal. Berjalan pelan menyusuri taman. Hingga langkahnya terhenti tepat didepan rumahku. Atau yang sering disebut oleh manusia dengan "kolam ikan". Aku perlahan menghampiri manusia itu. Mengamati apa yang sedang dia lakukan.

Lelaki itu mengeluarkan sebuah toples dari tas yang ia kenakan. Membukanya dan mengeluarkan isinya yang ternyata adalah makanan kami. Tangannya sibuk menjatuhkan butiran butiran makanan itu pada permukaan air. Sontak aku memakannya karena dari tadi pagi perutku belum terisi apapun.

Sejenak lelaku itu menghela napas. Ia mulai bercerita. Tentang hatinya yang pernah dipatahkan. Tentang sakitnya sebuah kehilangan. Tentang tak ingin terperangkap lagi dalam rasa tak bereja. Sedangkan aku mendengarnya dengan penuh antusias. Menyelami hatinya seolah olah aku juga ikut merasakannya. Hingga jingga berganti kemerah merahan, lelaki itu memutuskan beranjak pergi. Sejak saat itu, lelaki itu selalu datang kala senja dan menceritakan perihal hatinya. Sedangkan aku selalu menjadi pendengar setianya.

Setiap malam pula benakku selalu penuh akan tentangnya. Aku selalu menanti kedatangannya. Menunggu ceritanya. Hingga satu bulan kemudian, jumlah kedatangannya semakin berkurang. Dia absen sekali dalam seminggu. Selanjutnya dua kali dalam seminggu. Lama kelamaan dia hanya hadir dua kali dalam seminggu. Namun, aku berusaha menghilangkan pikiran negatif tentang absennya. Mungkin dia sibuk.

Ceritanyapun tak lagi sama. Saat itu, aku mulai menyadari tunas rasa yang berkembang. Aku mulai tahu perasaan rindu. Dan aku mulai menyadari bahwa aku mencintainya. Aneh. Ya, sangat aneh. Namun, rasa tak mengenal sesiapapun bukan? Termasuk aku. Setiap malam, aku tak pernah berhenti memikirkannya. Menduga duga sedang apa dia disana. Menerka nerka apakah hatinya sudah sembuh atau belum. Hanya saja aku tak pernah mendapatkan jawabannya. Karena aku tak bisa bahasa manusia. Andai saja bisa, mungkin aku sudah mencarinya dan menanyakannya langsung tentang pertanyaanku yang masih belum terjawab.

Hingga suatu hari, jawaban itu tiba. Jawaban yang menyadarkanku dari rasa berharap pada manusia. Jawaban yang pastinya membuat kondisi hatiku tak baik baik saja.

Dia. Lelaki itu membawa benda berbentuk kotak yang halaman depannya tertulis namanya dan nama seorang perempuan. Aku tak tahu harus senang atau sedih. Disisi lain aku akhirnya tahu siapa namanya. Muhammad Arsyad Arridami. Sangat indah. Tapi seketika kembali sesak saat ada nama perempuan lain selain aku. Aku baru ingat bahwa aku tak punya nama. Aku merutuki kenyataan bahwa aku adalah seekor ikan.

Aku perlahan menyadari bahwa esok lusa dia tak akan pernah datang lagi. Dia akan sibuk dengan perempuan itu dan tak ingat tentang tempat ini lagi. Aku merasa iri dengan perempuan itu. Aku tak bisa mendengar jelas ceritanya tentang perempuan itu. Aku terlalu sibuk menenangkan hatiku. Merapikan kepingan hatiku yang sudah berserakan. Berdoa agar dia kembali kehilangan perempuan itu. Dan kembali mengunjungi rumahku. Seperti dulu lagi.

Aku menghela napas.

Egois memang berdoa seperti itu. Salahkan saja rasa yang datang tanpa kuminta ini. Rasa yang ada karena dia.

Aku kembali memikirkan kata teman temanku. Pergi ke laut untuk melupak semua kenangan tentang darat. Andai saja semudah itu. Tapi aku memutuskan untuk tetap disini. Dengan luka yang entah kapan sembuhnya. Berharap semesta merestuiku untuk menghilangkan rasa ini. Aku tak ingin melupakannya. Aku akan mengingatnya sebagai cinta pertamaku. Kenangan perihal rasa yang pernah terjadi di hidupku.

Komentar